Oleh: Ainul Harits, Lc
"Sesungguhnya engkau tidak
menafkahkan sebuah nafkah untuk mendapatkan keridhaan Allah kecuali dibalas
oleh Allah, sampai sesuap nasi yang kamu berikan kepada keluargamu." (HR.
Bukhari dan Muslim)
--------------------------------------------------------------------------------
AlDakwah.com- Amirul Mukminin Abu
Hafsh, Umar bin Khathab ra. berkata, Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan seseorang
akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa hijrahnya menuju
Allah dan Rasul-Nya, ia akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa
hijrahnya menuju dunia yang akan diperolehnya atau menuju wanita yang akan
dinikahinya, maka ia (hanya) akan mendapatkan apa yang dia tuju." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Mayoritas rakyat negeri ini, sejak
tumbangnya rezim Orde Baru punya niat yang sama; membangun negara-bangsa
Indonesia. Sebagai pribadi, masing-masing rakyat juga berniat untuk menangkap masa
depan yang cerah dengan usaha maksimal. Sebagai seorang muslim, kita juga
berniat -bahkan sejak lama- untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam yang
rahmatan lil alamin itu dalam kehidupan sehari-hari. Kita semua berniat untuk
hijrah dari masa lalu yang suram kepada masa depan yang cerah-gemilang.
Niat dalam terminologi agama memiliki
dua makna. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan.
Seperti untuk membedakan antara mandi junub (wajib) dengan mandi biasa, atau
antara satu ibadah dengan lainnya, seperti untuk membedakan shalat Dzuhur
dengan shalat Ashar. Kedua, untuk membedakan tujuan amal. Apakah amal itu
ditujukan hanya untuk Allah, atau untuk yang selain-Nya, atau amal itu
ditujukan untuk Allah, tetapi juga agar mendapat pujian orang.
Dalam diskursus kehidupan sosial, niat
yang kita maksud adalah untuk membedakan tujuan amal. Niat dalam hadis di atas
juga dalam bingkai makna tersebut. Dan niat dalam makna inilah yang menjadi
rahasia kebahagiaan atau kesengsaraan, pahala atau siksa. Bisa saja dua orang
tampak melakukan satu pekerjaan yang sama, bahkan sama-sama merasa lelah.
Tetapi yang satu mendapat pahala dan lainnya malah menuai siksa. Dan hal itu
tergantung pada niatnya.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa
tiga golongan manusia yang pertama kali diazab pada hari Kiamat adalah;
pertama, orang yang (tampaknya) mati syahid, kedua, seorang da'i dan ketiga
seorang yang dermawan. Hal itu, karena mereka melakukan amalnya semata-mata
untuk popularitas. Secara kasuistik, Nabi saw. dalam hadis di atas menunjukkan
adanya amal baik yang sia-sia karena salah niat, yakni hijrah karena motivasi
nikah. Sejarah turunnya hadis tersebut dikisahkan oleh Ibnu Mas'ud ra.:
"Di antara kami ada seseorang yang meminang perempuan, tetapi ia menolak
kecuali jika laki-laki itu hijrah bersamanya. Maka laki-laki itu pun ikut
hijrah, sehingga kemudian jadi menikah dengan wanita tersebut. Lalu kami pun
menyebutnya sebagai orang yang hijrah karena Ummu Qais."
Sebaliknya, pekerjaan yang tampaknya
duniawi bisa bernilai ukhrawi (berpahala) bila tujuan dan motivasinya adalah
untuk mencari ridha Allah. Seperti disebutkan dalam sabda Rasulullah saw. :
"Sesungguhnya engkau tidak menafkahkan sebuah nafkah untuk mendapatkan
keridhaan Allah kecuali dibalas oleh Allah, sampai sesuap nasi yang kamu
berikan kepada keluargamu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Niat dalam maknanya sebagai pembeda
antara ibadah dengan kebiasaan adalah tetap sangat penting. Bahkan para ulama
sepakat bahwa niat dalam suatu ibadah adalah rukun dari ibadah itu sendiri, di
mana tidak sah ibadah seseorang kecuali dengan niat tersebut. Seperti niat
dalam shalat, puasa, haji dan lain sebagainya.
Lebih penting lagi adalah niat dalam
arti tujuan baik atau untuk mendapatkan ridha Allah. Bahkan orang yang telah
berniat untuk berbuat baik (amal shalih), lalu ia tak sempat melakukannya,
karena alasan sakit, uzur syar'i atau kematian, maka ia tetap mendapatkan
pahala karena niat baiknya. Imam Baidhawi berkata, "Suatu amal tidak sah
kecuali dengan niat. Sebab niat tanpa realisasi amal (karena alasan yang
diterima) masih tetap berpahala, sedangkan amal tanpa niat adalah sia-sia.
Perumpamaan niat bagi amal adalah laksana ruh bagi jasad. Jasad tidak berarti
tanpa ruh. Dan ruh tidak bisa diketahui eksistensinya di alam ini kecuali
bersama dengan jasad."
Di sinilah kita perlu merenungkan
kembali hakikat kita sebagai seorang muslim, juga sebagai anak bangsa. Telahkah
kita, selaku rakyat atau pemimpin, menanamkan niat baik untuk mendapatkan ridha
Allah dalam gerak diam kita? Jika belum, ragu-ragu atau kadang terlalaikan maka
niat baik itu harus kita pasang sekarang. Sebab niat sangat menentukan diterima
tidaknya amal seseorang. Karena itu, kita harus sering mengingat-ingat niat
awal, baik pekerjaan duniawi maupun ukhrawi. Bila tidak, maka amal kita akan
sia-sia. Begitu pentingnya niat, sehingga dalam tataran niat saja, seseorang
telah diberi balasan oleh Allah, meskipun belum merealisasikannya dalam aksi
nyata. Rasulullah saw. bersabda: "Manusia itu ada empat golongan; seorang
yang dikaruniai ilmu dan harta oleh Allah, dan dia mengamalkan ilmunya tentang
cara distribusi hartanya. Lalu seseorang berkata, kalau aku dikaruniai Allah
seperti yang dia terima, niscaya aku akan berbuat hal yang sama, maka keduanya
mendapat pahala yang sama. Dan seorang yang dikaruniai harta oleh Allah, tetapi
tidak dikaruniai ilmu, sehingga dia menjadi rusak (moralnya) karena hartanya.
Lalu seseorang berkata, kalau aku dikaruniai Allah seperti yang ia terima,
niscaya aku akan berbuat hal yang sama, maka keduanya sama dalam mendapatkan
dosa." (HR. Ibnu Majah dengan jalur yang baik).
Alhasil, dalam hidup ini, niat baik
adalah mahkota dan jiwa kehidupan. Sebagai pribadi, kita wajib memasang niat
baik dalam gerak diam kita. Dan parameter niat baik adalah kesesuaiannya dengan
perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebagai bagian dari bangsa, kita juga harus niat
untuk berperan aktif membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Paling tidak,
berniat untuk tidak ikut-ikutan memperkeruh suasana di tengah krisis multidimensional
saat ini. Dan semua itu, kita tujukan hanya untuk Allah semata, bukan karena
hal-hal lain, sehingga bernilai ibadah. Dan bila kita berhasil memuarakan
segalanya untuk Allah, maka itulah target final hidup ini, yang dengannya kita
mencapai kebahagiaan dan keberuntungan. Sebab kebahagiaan dan kenikmatan, dunia
maupun akhirat, senantiasa bertumpu kepada-Nya.
Pertanyaan berikutnya adalah, sudahkah
kita mampu merealisasikan kehendak dan niat baik itu dalam kehidupan? Jika
belum maka kita harus segera hijrah. Hijrah dengan meninggalkan apa yang
dilarang Allah, berpindah dari keburukan kepada kebaikan. Kita harus hijrah
kepada Allah. Dalam arti, kita senantiasa memohon kepada-Nya, mencintai-Nya,
beribadah kepada-Nya, bertawakkal dan menyerahkan diri kepada-Nya,
mengembalikan segala persoalan kepada-Nya, berharap kepada-Nya, memohon
perlindungan kepada-Nya dan senantiasa membutuhkan kepada-Nya dalam setiap
desah nafas kita.
Kita juga harus hijrah kepada
Rasul-Nya. Dalam arti, segala gerak diam kita, yang tampak maupun tidak tampak,
haruslah sesuai dengan teladan dan tuntunan Rasulullah saw. Sebab Allah Ta'ala
tidak menerima apapun yang bahkan dianggap baik oleh manusia, jika bertentangan
dengan teladan dan tuntunannya. Segala tindakan yang tidak sesuai dengan teladan
Nabi saw. hanyalah konsumsi nafsu belaka dan bukan bekal menuju akhirat. Karena
itu, seyogyanya bagi orang yang menginginkan kebaikan agar menjadikan
detik-detik umurnya untuk meneladani Nabi saw. dalam segala-galanya. Hal yang
telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu (generasi awal Islam), sehingga
menghantarkan mereka pada puncak cita-cita yang diidamkan.
Dalam masa sulit dan pahit, biasanya
Allah begitu cepat mengabulkan doa-doa bila kita memiliki tabungan amal
kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih riwayat Ibnu Umar ra., ada
tiga orang yang tersekap dalam gua. Setelah berdoa kepada Allah dengan andalan
amal kebaikannya masing-masing, maka dengan izin Allah, sesuatu yang mustahil
secara nalar benar-benar terjadi. Batu besar yang menghalangi pintu gua membuka
dengan sendirinya, sehingga mereka bisa keluar dengan leluasa.
Bangsa kita mayoritas adalah muslim.
Telah banyak doa -sendirian maupun bersama-sama- dipanjatkan. Telah cukup
banyak gagasan dan usaha dilakukan untuk mengentaskan bangsa ini dari krisis
multidimensional. Tapi kenapa keadaan cenderung tidak membaik? Mungkin kita
sebagai pribadi dan anak bangsa perlu introspeksi dan merundukkan hati.
Tetapi kita juga punya sejarah. Kita
pernah mengalami krisis yang hebat pada 1965, dan kita bisa keluar daripadanya.
Saat devaluasi 1986, kita juga bisa mengatasinya. Bahkan ke belakang lagi,
kitapun bisa merdeka setelah 350 tahun dijajah. Bangsa ini sering menghadapi
angin topan yang kencang, tetapi mampu mengatasinya dan tegar. Tentu semuanya
adalah karena pertolongan Allah, setelah kita meminta-Nya disertai usaha.
Ketegaran dan kesejatian bangsa ini kembali diuji sekarang. Maka, marilah kita
luruskan niat hijrah. Mudah-mudahan berbagai krisis segera hilang, berganti
dengan kemakmuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar