Senin, 25 Maret 2019

MELURUSKAN NIAT HIJRAH..


Oleh: Ainul Harits, Lc


"Sesungguhnya engkau tidak menafkahkan sebuah nafkah untuk mendapatkan keridhaan Allah kecuali dibalas oleh Allah, sampai sesuap nasi yang kamu berikan kepada keluargamu." (HR. Bukhari dan Muslim)


--------------------------------------------------------------------------------

AlDakwah.com- Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khathab ra. berkata, Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan seseorang akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya, ia akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya menuju dunia yang akan diperolehnya atau menuju wanita yang akan dinikahinya, maka ia (hanya) akan mendapatkan apa yang dia tuju." (HR. Bukhari dan Muslim)

Mayoritas rakyat negeri ini, sejak tumbangnya rezim Orde Baru punya niat yang sama; membangun negara-bangsa Indonesia. Sebagai pribadi, masing-masing rakyat juga berniat untuk menangkap masa depan yang cerah dengan usaha maksimal. Sebagai seorang muslim, kita juga berniat -bahkan sejak lama- untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil alamin itu dalam kehidupan sehari-hari. Kita semua berniat untuk hijrah dari masa lalu yang suram kepada masa depan yang cerah-gemilang.

Niat dalam terminologi agama memiliki dua makna. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan. Seperti untuk membedakan antara mandi junub (wajib) dengan mandi biasa, atau antara satu ibadah dengan lainnya, seperti untuk membedakan shalat Dzuhur dengan shalat Ashar. Kedua, untuk membedakan tujuan amal. Apakah amal itu ditujukan hanya untuk Allah, atau untuk yang selain-Nya, atau amal itu ditujukan untuk Allah, tetapi juga agar mendapat pujian orang.

Dalam diskursus kehidupan sosial, niat yang kita maksud adalah untuk membedakan tujuan amal. Niat dalam hadis di atas juga dalam bingkai makna tersebut. Dan niat dalam makna inilah yang menjadi rahasia kebahagiaan atau kesengsaraan, pahala atau siksa. Bisa saja dua orang tampak melakukan satu pekerjaan yang sama, bahkan sama-sama merasa lelah. Tetapi yang satu mendapat pahala dan lainnya malah menuai siksa. Dan hal itu tergantung pada niatnya.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa tiga golongan manusia yang pertama kali diazab pada hari Kiamat adalah; pertama, orang yang (tampaknya) mati syahid, kedua, seorang da'i dan ketiga seorang yang dermawan. Hal itu, karena mereka melakukan amalnya semata-mata untuk popularitas. Secara kasuistik, Nabi saw. dalam hadis di atas menunjukkan adanya amal baik yang sia-sia karena salah niat, yakni hijrah karena motivasi nikah. Sejarah turunnya hadis tersebut dikisahkan oleh Ibnu Mas'ud ra.: "Di antara kami ada seseorang yang meminang perempuan, tetapi ia menolak kecuali jika laki-laki itu hijrah bersamanya. Maka laki-laki itu pun ikut hijrah, sehingga kemudian jadi menikah dengan wanita tersebut. Lalu kami pun menyebutnya sebagai orang yang hijrah karena Ummu Qais."

Sebaliknya, pekerjaan yang tampaknya duniawi bisa bernilai ukhrawi (berpahala) bila tujuan dan motivasinya adalah untuk mencari ridha Allah. Seperti disebutkan dalam sabda Rasulullah saw. : "Sesungguhnya engkau tidak menafkahkan sebuah nafkah untuk mendapatkan keridhaan Allah kecuali dibalas oleh Allah, sampai sesuap nasi yang kamu berikan kepada keluargamu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Niat dalam maknanya sebagai pembeda antara ibadah dengan kebiasaan adalah tetap sangat penting. Bahkan para ulama sepakat bahwa niat dalam suatu ibadah adalah rukun dari ibadah itu sendiri, di mana tidak sah ibadah seseorang kecuali dengan niat tersebut. Seperti niat dalam shalat, puasa, haji dan lain sebagainya.

Lebih penting lagi adalah niat dalam arti tujuan baik atau untuk mendapatkan ridha Allah. Bahkan orang yang telah berniat untuk berbuat baik (amal shalih), lalu ia tak sempat melakukannya, karena alasan sakit, uzur syar'i atau kematian, maka ia tetap mendapatkan pahala karena niat baiknya. Imam Baidhawi berkata, "Suatu amal tidak sah kecuali dengan niat. Sebab niat tanpa realisasi amal (karena alasan yang diterima) masih tetap berpahala, sedangkan amal tanpa niat adalah sia-sia. Perumpamaan niat bagi amal adalah laksana ruh bagi jasad. Jasad tidak berarti tanpa ruh. Dan ruh tidak bisa diketahui eksistensinya di alam ini kecuali bersama dengan jasad."

Di sinilah kita perlu merenungkan kembali hakikat kita sebagai seorang muslim, juga sebagai anak bangsa. Telahkah kita, selaku rakyat atau pemimpin, menanamkan niat baik untuk mendapatkan ridha Allah dalam gerak diam kita? Jika belum, ragu-ragu atau kadang terlalaikan maka niat baik itu harus kita pasang sekarang. Sebab niat sangat menentukan diterima tidaknya amal seseorang. Karena itu, kita harus sering mengingat-ingat niat awal, baik pekerjaan duniawi maupun ukhrawi. Bila tidak, maka amal kita akan sia-sia. Begitu pentingnya niat, sehingga dalam tataran niat saja, seseorang telah diberi balasan oleh Allah, meskipun belum merealisasikannya dalam aksi nyata. Rasulullah saw. bersabda: "Manusia itu ada empat golongan; seorang yang dikaruniai ilmu dan harta oleh Allah, dan dia mengamalkan ilmunya tentang cara distribusi hartanya. Lalu seseorang berkata, kalau aku dikaruniai Allah seperti yang dia terima, niscaya aku akan berbuat hal yang sama, maka keduanya mendapat pahala yang sama. Dan seorang yang dikaruniai harta oleh Allah, tetapi tidak dikaruniai ilmu, sehingga dia menjadi rusak (moralnya) karena hartanya. Lalu seseorang berkata, kalau aku dikaruniai Allah seperti yang ia terima, niscaya aku akan berbuat hal yang sama, maka keduanya sama dalam mendapatkan dosa." (HR. Ibnu Majah dengan jalur yang baik).

Alhasil, dalam hidup ini, niat baik adalah mahkota dan jiwa kehidupan. Sebagai pribadi, kita wajib memasang niat baik dalam gerak diam kita. Dan parameter niat baik adalah kesesuaiannya dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebagai bagian dari bangsa, kita juga harus niat untuk berperan aktif membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Paling tidak, berniat untuk tidak ikut-ikutan memperkeruh suasana di tengah krisis multidimensional saat ini. Dan semua itu, kita tujukan hanya untuk Allah semata, bukan karena hal-hal lain, sehingga bernilai ibadah. Dan bila kita berhasil memuarakan segalanya untuk Allah, maka itulah target final hidup ini, yang dengannya kita mencapai kebahagiaan dan keberuntungan. Sebab kebahagiaan dan kenikmatan, dunia maupun akhirat, senantiasa bertumpu kepada-Nya.

Pertanyaan berikutnya adalah, sudahkah kita mampu merealisasikan kehendak dan niat baik itu dalam kehidupan? Jika belum maka kita harus segera hijrah. Hijrah dengan meninggalkan apa yang dilarang Allah, berpindah dari keburukan kepada kebaikan. Kita harus hijrah kepada Allah. Dalam arti, kita senantiasa memohon kepada-Nya, mencintai-Nya, beribadah kepada-Nya, bertawakkal dan menyerahkan diri kepada-Nya, mengembalikan segala persoalan kepada-Nya, berharap kepada-Nya, memohon perlindungan kepada-Nya dan senantiasa membutuhkan kepada-Nya dalam setiap desah nafas kita.

Kita juga harus hijrah kepada Rasul-Nya. Dalam arti, segala gerak diam kita, yang tampak maupun tidak tampak, haruslah sesuai dengan teladan dan tuntunan Rasulullah saw. Sebab Allah Ta'ala tidak menerima apapun yang bahkan dianggap baik oleh manusia, jika bertentangan dengan teladan dan tuntunannya. Segala tindakan yang tidak sesuai dengan teladan Nabi saw. hanyalah konsumsi nafsu belaka dan bukan bekal menuju akhirat. Karena itu, seyogyanya bagi orang yang menginginkan kebaikan agar menjadikan detik-detik umurnya untuk meneladani Nabi saw. dalam segala-galanya. Hal yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu (generasi awal Islam), sehingga menghantarkan mereka pada puncak cita-cita yang diidamkan.

Dalam masa sulit dan pahit, biasanya Allah begitu cepat mengabulkan doa-doa bila kita memiliki tabungan amal kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih riwayat Ibnu Umar ra., ada tiga orang yang tersekap dalam gua. Setelah berdoa kepada Allah dengan andalan amal kebaikannya masing-masing, maka dengan izin Allah, sesuatu yang mustahil secara nalar benar-benar terjadi. Batu besar yang menghalangi pintu gua membuka dengan sendirinya, sehingga mereka bisa keluar dengan leluasa.

Bangsa kita mayoritas adalah muslim. Telah banyak doa -sendirian maupun bersama-sama- dipanjatkan. Telah cukup banyak gagasan dan usaha dilakukan untuk mengentaskan bangsa ini dari krisis multidimensional. Tapi kenapa keadaan cenderung tidak membaik? Mungkin kita sebagai pribadi dan anak bangsa perlu introspeksi dan merundukkan hati.

Tetapi kita juga punya sejarah. Kita pernah mengalami krisis yang hebat pada 1965, dan kita bisa keluar daripadanya. Saat devaluasi 1986, kita juga bisa mengatasinya. Bahkan ke belakang lagi, kitapun bisa merdeka setelah 350 tahun dijajah. Bangsa ini sering menghadapi angin topan yang kencang, tetapi mampu mengatasinya dan tegar. Tentu semuanya adalah karena pertolongan Allah, setelah kita meminta-Nya disertai usaha. Ketegaran dan kesejatian bangsa ini kembali diuji sekarang. Maka, marilah kita luruskan niat hijrah. Mudah-mudahan berbagai krisis segera hilang, berganti dengan kemakmuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar